Selasa, 08 Januari 2013

KATANYA SI TIMUN ?




Hari ini tanggal 08 Januari 2013, saya sedikit bersyukur ternyata hari ini matahari masih mau menampakkan wajahnya setelah satu minggu murung tanpa semenitpun berusaha menyinari bumi. Sedih rasanya ketika harus memandang setiap sisi ruang di rumah ini dengan pakaian yang tak kunjung kering. Gelisah juga selalu menghampiri tatkala hujan menuntut eksistensinya setiap hari, air dimana-mana tergenang, tanah pun lelah harus meladeni air yang begitu banyak menetesinya ditambah bongkahan batu dan pasir bersama semen yang menghalangi teresapnya air, takut banjir tepatnya :’(
Hari ini saya harus membawa pulang laptop teman yang mau di instalkan kak Wahyu, teman terdekat saya yang terkadang saking dekatnya kita berteman dari hati ke hati. Setelah menunggu kesuksesan kak Wahyu menyelesaikan dalam kurun waktu dua jam, saya rasa bukan waktu yang singkat, tapi singkat rasanya kalau terasa dia teman yang istimewa J. Hujan turun dan kampung tengah mengguncang, perut saya berdering memanggil sahabatnya, saya lapar ternyata. Karena harus menunggu hujan berhenti ternyata ada dua pop mie, makanan para mahasiswa berdompet gepeng. Tapi ternyata pop mie ini rasanya nikmat, mungkin karena makannya berdua, atau apalah yang menjadikannya lebih dari pop mie yang biasanya.
Disamping menunggu hujan yang masih mengguyuri daerah samata dan sekitarnya ternyata saya dan kak Wahyu juga bisa menikmati suasana hujan dengan bermain Ultraman vs Ultragehol. Permainannya simple, cukup dengan mengayunkan tangan dan mengucapkan kalimat “Shiat.. Shiattt,, Haa’-haa’. Hap.. hap,, hiattss.” Dan kemudian lampu Ultraman harus berbunyi “tinug-tinung” dan itu pertanda Ultraman kehabisan energi. Tapi biasanya Ultraman akan bangkit ketika lampunya tinung-tinung (kata televisi sihh), yah karena lampu ultraman sudah menyala akhirnya permainan berakhir dan kembali dilanjutkan dengan permainan panco, sejenis permainan adu kekuatan otot bisep. Awal dan kedua round saya berhasil menaklukkan kak Wahyu, entah karena dia benar-benar lemah ataukah dia pura-pura lemah supya saya kelihatan bahagia dan lompat-lompat  :D setidaknya seperti itu.
Tetteret..terettt.. kakakku datang, Kak Adnan. Kakak kandungku yang kata orang kami bagai pinang di belah dua, mirip tapi tak serupa. Kakak yang paling perhatian, baik dan setia menjadi kakak saya sampai saat ini (karena dia memang akan menjadi kakak saya sampai kapanpun J). Walaupun terkadang saya dan kakak nampak menunjukkan gading masing-masing, adu cek-cok dan sebagainya, tetap dia yang terindah, yang selalu terindah (bukan nyanyian :D ). Setelah kakak menyaksikan adu panco antara Kak Wahyu dan saya, kakak respon tertawa terbahak-bahak ketika melihat saya menang karena kak Wahyu sengaja melemahkan tenaganya. Yah, dia benar-benar sengaja membahagiakanku ketimbang saya harus menangis menuntut kemenangan :D hahaha . itu konyol.
Hujan redah, Kak Wahyu pamit dan pulang karena hari sudah sore, walaupun langit tak pernah menunjukkan kalau cuaca menunjukkan sore hari (orang cuacanya lagi mendung :p ). Setelah itu kakak Adnan bertanya tentang pesan bapak dari merauke, yah, kota kelahiran saya dan orang tua saya masih menetap disana seperti layaknya kampung halaman kami (yah mungkin seperti itu, orang saya lahir dan besarnya disana). Bapak pernah berpesan untuk membeli tegel lantai rumah yang akan dipakai disebelah rumah yang sudah diperluas lagi. Akhirnya malam ini saya dan kakak mengunjungi toko khusus menjual bahan bangunan, nama tempatnya aja Depo Bangunan. Yah, disini tempat dijualnya bahan-bahan bangunan dan kawan-kawannya, saya tidak mampu harus mengucapkan satu persatu bahan yang dijual, karena saya hanya akan membeli tegel lantai (sebenarnya bukan membeli, tepatnya melihat-lihat bentuk yang sesuai dan harga yang pas dulu). Setelah mendarat di TKP (J kaya mau eksekusi sesuatu aja yha, mungkin itu hanya bahasa-bahasa ekstrim yang membuat sifat lugu menjadi kaku, haha). Setelah akhirnya merapikan penampilan, langkah saya dan kakak mengalir ke dalam toko yang tampilannya mantep abis, pintunya aja otomatis kebuka, kaya tuan putri yang datang, (kelihatannya saya norak-norak metal gitu). Setiba di dalam, ngintip-ngintip target akhirnya, target terpanah juga (bukan lagi memburu yha). Setelah target ketemu, harga sesuai dan bentuk menyesuaikan dompet, akhirnya saya dan kakak putuskan untuk tancap gas pulang. Pas pulang, karena kagak beli apa-apa yah sepanjang jalan sampai pintu luar saya masang muka pura-pura gila, mirip kaya orang tanpa dosa yang melenggang keluar. Hahaha, selamet :D
Ketika asik cerita dijalan pulang, eh perut si kakak keruncungan. Wah, ternyata dia kelaparan. Eh......... perjalanan kita sudah dekat dengan rumah dan kakak sudah jauh melewati tempat penjual nasi goreng. Hampir setiap pengen makan nasi goreng kita berlabuh ke warung ini. Kagak tahu apa nama warungnya, tapi warungnya ada pas di samping pertamina Samata.
Dua bungkus terpesan sudah. Nampak anak gadis kecil bapak dan ibu penjual nasi goreng ikut menemani bapak dan ibunya. Saya kasihan melihat anak kecil yang harus ikut orang tuanya kerja hingga larut malam, bahkan mungkin anak ini tetap harus menahan matanya di saat dia harusnya terlelap sama seperti anak berusia empat tahun biasanya. Yah dia anak kecil yang tegar, walaupun badannya kecil dengan rambut gelombangnya, dia tetap setia menemani orang tuanya bekerja. Apalagi ketika hujan turun, sekalipun dingin menusuk tulang belulangnya, air membasahi kaki dan jari halusnya, ataupun tenda terpal yang bocor dan membasahi bajunya, semua terasa ikhlas dihadapinya.
Ketika saya harus beranjak pulang setelah mendapatkan dua porsi nasi goreng yang dikemas dalam kertas plastik. Saya melihatnya berdiri di atas roda di depan gerobak dorong dan entahlah, apakah dia sekedar ingin menghibur ibunya, mempraktekkan pembeli yang datang atau dia lelah ingin pulang. Yah di balik keluguannya dia meneriakkan kalimat yang terdengar asing di teling, sedikit lucu untuk saya dengar, entahlah.. J “Mama, mama aaa,,, beli sitimun”. HAH !!!. Apa dek? SITIMUN. Keluguannya benar-benar mencerminkan kehalusannya mengucapkan kata-kata yang banyak memiliki arti yang beragam. Sitimun? Si-Timun, apakah ada orang yang namanya Timun yah.??? 

Sabtu, 05 Januari 2013

SABTU EDISI GALAU


Hari jum’at 04-01-2013 cuacanya mendung-mendung anyep, nyaman untuk melanjutkan tidur tapi kalin ini nggak bakalan nyaman. Saya ada final Morfologi Tumbuhan. Finalnya aja belum terlaksana temen-temen sudah harus membuktikan usahanya untuk masuk final. Syarat finalnya simple sih. Hanya perlu membawa tanaman yang memiliki bagian lengkap. Contohnya nih akar, batang, daun.
Pagi itu saya harus memaksakan diri bangkit dari tempat tidur dengan cuaca yang anyep dan selalu mengundang napsu ingin tidur. #Toeng-toeng. Saya masih tetap santai menanggapi pagi ini, padahal saya sama sekali tidak menjamin satu tanaman untuk syarat final. Tapi upaya melawan godaan cuaca, hehe J kaya berat gitu. Akhirnya saya bangun juga sih, walaupun hatiku banyak melaporkan kata-kata tidak logis live disampaikan langsung dari hati yang paling dalam.
Setelah mandi dan bersiap-siap (kagak pernah sarapan sih, antara malas makan, malas masak atau tepatnya kagak ada makanan. Yah sejenis penyakit remaja kini kalau hidupnya di tantang untuk hidup sendiri). Dengan tampang pura-pura segar akhirnya saya nyampai juga di kampus. Nyampainya sih juga pura-pura sempurna walaupun ditangan tak ada satupun tanaman untuk masuk final. Tapi keraguanku yang ditutupi oleh kesegaranku berawal dari keterkejutanku melihat Yayu dan Nia teman saya yang juga sedang mengais-ngais tanaman di kebun fakultas. Entah tanaman atau hanya rerumput yang sibuk mereka identifikasikan bercampur dengan kegagalan mereka mencabut tanamannya.
Singkat cerita saya datang dengan tampang meyakinkan, mengkin tampang saya harus mengatakan saya sudah mendapatkan tanamannya. Padahal bicara kenyataan Yayu dan Nia bersamaan bertanya pada saya “sudah ada tanamanmu?”. Karena tampangku meyakinkan sekali akhirnya saya juga yakin akan memberikan jawaban yang meyakinkan yha saya menjawabnya “tidak ada sama sekali”. L
Setelah berkomat-kamit menyiapkan strategi untuk mendapatkan tanaman itu akhirnya kita putuskan untuk keliling-keliling fakultas nyari tanaman yang bagus di eksekusi. Semenit berjalan mata Nia tajam melihat bayam di sudut gedung. Atau mungkin saking di lapar dia mengingat sayur bayam yang di bening plus tempe dan sambal terasi, makanya tajam penglihatannya. Akhirnya tanaman itu di eksekusi Yayu yang menariknya dengan tenaga dalam sampai tak tercabut-cabut, untung dia tidak membuktikan kalau usahanya sudah maksimal dengan membuang gas hasil tekanan mencabut tanaman bayam, sejenis bom mematikan bernama kentut. Saya melihat kesungsangan yang terjadi padanya akhirnya saya membantunya dengan sekali tarikan. Akhirnya bayamnya copot, saya, Yayu dan Nia akhirnya melanjutkan kegiatan shoping tanaman. Sudah berjalan sampai ke belakang gedung sampai akhirnya berujung ke gedung rektorat, usaha untuk mendapatkan tanaman saya tak kunjung sirna. Tiba-tiba kami berhenti pada satu daerah disisi belakang gedung rektorat yang jelas ada tanaman yang biasa digunakan orang untuk memerahkan bibir secara otomatis dan menikmatkan makanan yang kita makan. Cabe, cabe yang kita lihat sarat dengan buahnya yang masih hijau, layak kalau dicabut dan membawanya pulang ke kos yang sedang krisis segalanya. Setelah sibuk berdiskusi kami memikirkan sesuatu yang konyol ketika pohon cabe yang kita akan cabut itu tidak akan pernah tercabut, bagaimana tidak cabe itu nampak subur dan batangnya besar. Karena tidak mungkin kami bertiga akan mencabutnya diam-diam sedangkan ini sulit dilakukan. Apa jadinya kalau penjaga keamanan melihat usaha kami, jangan pikir kami akan digantung di gedung fakultas sambil berkomat-kamit meminta ampun. Ternyata 4 cm di sebelah pohon cabe ada pohon terong, waduh ni kampus nanam sayuran untuk di masak yha?. Yha pemikiran kita tidak nyampai pada usaha mencabut terong, soalnya terongnya mengalahkan kesuperan batang cabe.
Berjalan terus menyisiri samping gedung dan kami melihat jamur-jamur yang subur hidup di bawah bunga-bunga pagar yang tinggi. Setidaknya ketika nanti praktikum di laboraturium kita tak perlu jauh-jauh mencari jamur. Perjalanan kita terhenti pada tanaman salak yang baru saja tumbuh, tanpa pikir panjang saya mencabutnya dengan hati-hati dan melanjutkan perjalanan ke kelas untuk final.
Ternyata setelah sampai di kelas final baru di mulai untuk kelas A, sedangkan saya kan kelas B. Itupun no absen saya 70 karena nama saya Windy, dan itu letaknya di ujung bawah dan belakang halaman absensi. Menunggu giliran itu sesuatu yha. Saya menunggunya sambil sibuk mempelajari materi dengan komat kamit membaca nama latin tumbuhan. Setelah payah menunggu sampai pukul 14.00 akhirnya komunitas kelas B yang terkenal dengan gosmter alias gosip seputar mahasiswa ternama, haha J.
Wahyuni yang namanya sama-sama awalan W dengan saya, dia sibuk bercerita pengalaman kemarinnya yang membuat teman-teman saya sibuk menahan napas untuk tidak tertawa besar. Kata Wahyuni dengan nada khas sulawesinya seperti ini: weh, ko tau kemarin pulang ka sama Afni dan Baya, baru jatuh ka lagi, malu-maluku. Gara-gara Windy ini, (loh kok gara-gara saya yah. Dia yang jatuh aku yang salah. Yha mungkin ini tragedi emosional. Hahaha :D ). Jatuh ka ke samping karena ada lubang, keseimbanganku hilang dan kaki ku tidak sampai di tanah. Jatuhnya itu menyedihkan, bukan karena benturan yang keras melainkan karena jatuhnya yang gemulai. Saya sibuk menahan beban dua temanku yang beratnya lumayan 60 kg. Afni dan Baya terbalik ke belakang, kaki mereka terangkat di atas motor dan badan mereka tidur di aspal jalan. Parahnya ini musim hujan, baju mereka penuh dengan lumpur yang warnanya cokelat. Akhirnya saya binggung dan khawatir dengan motor saya dan memutuskan untuk menarik berdiri motor sementara dua temannya masih asik tidur diaspal berlumur lumpur dan mengangkat kakinya di atas motor. Untungnya tidak apa-apa dan kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Baya mengatakan Bismillahhirahmanirahim, Afni sudah ko bismillah?tanya Baya. Dengan tampang yang gugup bercampur malas tau dia menjawab belum. Baya langsung mengeluarkan teori yang bunyinya pantasan jatuh orang kita tidak ada yang bismillah.
Sementara menunggu giliran, akhirnya kami semua masuk di giliran paling terakhir. Finalnya ribet, tapi saya masih mengingatnya dengan baik dan berharap hasilnya akan baik pula. Wah setelah saya final, saya memutuskan untuk pulang. Tapi kenapa kepulangan saya tidak berjalan dengan baik, kunciku hilang. Setelah banyak berpikir panjang saya di jemput kak Wahyu untuk mengambil kunci cadangan di rumah. Ternyata kunci cadangannya hilang dan motor saya yang namanya Ipin terkunci lehernya dan harus menunggu usahaku melepaskan lehernya. Huh L
Malam harinya saya bersama kakakku dan kak Wahyu ke kampus untuk sedikit mencari kunci yang mungkin jatuh, tetapi ternyata tidak ada. Saya dan kak Wahyu memanggil tukang bengkel untuk memperbaiki dengan cara yang halus. Akhirnya Ipin harus pulang dengan keadaan compang-camping. Malam ini kami memutuskan untuk menduplikat kunci motor Ipin tapi usaha kami sirna, tempat duplikat tertutup dan hujan menyambut kami di tengah kegelapan malam.
Esoknya, Sabtu 05-01-2013 saya sibuk mengais-ngais makalah yang semalam saya bikin sampai harus bergadang. Apalagi hari ini 2 matakuliah menungguku untuk mempresentasikan makalahku. Keberangkatanku tertunda karen hujan yang deras dan kendaraan yang tidak memungkinkan. Tidak mungkin saya harus menggunakan Ipin dalam keadaan seperti ini, hanya dengan menyambung kabel telanjang Ipin dengan mudah bisa di pakai kemana-mana, dan itu tidak mungkin saya lakukan ketika penglihatanku tidak selalu tertuju pada Ipin.
Karena menunggu Yayu yang akan menjemputku, saya memutuskan untuk mengapresiasikan perasaan saya dengan menulis status di wall facebook saya. “Sabtu Edisi Galau”
https://www.facebook.com/windy.sahar

Selasa, 01 Januari 2013

BANJIR TERASI RASA KEJU


Hari ini hari pertama di tahun 2013, hari pertama yang benar-benar mengajari saya cita rasa yang beraneka. Tentu, bagaimana tidak hari ini hujan turun seharian. Semua air risau mau mengalir kemana, begitu juga dengan saya yang risau lihat air menyelimuti rumah mini-mini saya kediaman yang sederhana mirip istana yang sesekali saya juluki planet anak gaul.
Malam ini pukul 20.00 wita, saya masih sibuk menarikan jari jemariku di atas laptop sembari sesekali tersenyum entah karena siapa, apa, dan kenapa. Mungkin seperti itu awal sebelum kejadian banjir terasi rasa keju ini.
Singkat cerita, kakak saya, Adnan teriak histeris, “HAH!!!” tapi suaranya nggak alay loh, karena dia sosok yang anti alay. “wew, dari mana nih air yha”, maklum saja kejadian ini pertama kali terjadi di rumah saya dan rumah-rumah saya sebelumnya. Maksudnya rumah orang tua saya waktu saya masih menjadi gulma mama bapak, walaupun sekarang rumah ini juga bukan punya saya sih. Hehe J
Usut punya usut mata saya dan kakak menelusuri sumber air datang. Diluar dugaan, kamar mandi saya kerendem, tiba-tiba air bah masuk dari pintu depan, air bah yang kecepatannya 0,0001 mm/s (kagak tau ni nulisnya bener kagak) air itu dengan lambat meresapi seluruh lapisan rumah yang bikin saya jadi kebakaran jenggot, walau hujan saya juga bisa kebakaran jenggot yha -_-
“Kakak, banjir.. lihat air di depan. Tenggelam rumah”. Waduh air hujan bakalan tenggelamkan rumah dengan ketinggian 5 cm di teras rumah. “kakak perbaiki selokan di depan supaya airnya tidak masuk ke rumah”. Karena hujan deras di luar kakak saya binggung, masa mau hujan-hujanan tengah malam, dia bilang ke saya “besok aja deh, sudah malam nanti orang lihat lagi”. Dengan cepat saya tanggapi “buset ini orang, waras kagak, nah air aja udah masuk rumah dia masih bilang besok aja, ia kalau airnya kagak nenggelamin kita”, sayang saya nyolotnya dalam hati dong.
Saya keluar dengan kakak dan lihat tragedi mengenaskan, behh.. bahaya ni bahasa. Yha air tergenang dimana-mana, kakak langsung saya instrusikan nyari skop, skop itu mirip sendok tapi bukan untuk nyendok nasi melainkan nyendok pasir. Saking bergairahnya kakak kena hujan dia ngeruk pasir kayak kapal keruk. Tiba-tiba tetangga jauh saya datang bawa sendok masing-masing dan bantuin kakak ngeruk pasir.
Setelah selesai kita baru bisa bernapas, yha walaupun dari tadi juga bernapas sih. Hanya legah pun terasa. Sisanya binggung nih mau tidur dimana, nah rumah aja terisi pasir satu ret plus daun-daun pohon yang kecil-kecil. Kepala mau meledak. Sejenak saya terpikir pantesan hujan seharian karena pas kemarin malam penyambutan pergantian tahun 2012 ke 2013 nyalain kembang api, jedar jedor gitu bunyinya, kasihan langit, dia kesakitan, kaget-kaget dan susah tidur, makanya paginya dia nangis sampai seharian. Banjir deh. Tugas kita sekarang bujuk langit supaya kagak nangis. Tiba-tiba saya nyadar atas halusinasi saya beberapa menit yang lalu.
Gara-gara banyak air akhirnya saya beli pop mie enam gelas, tiga untuk kakak dan tiga untuk saya. Setidaknya dingin-dingin bisa tolak angin sebanyak mungkin, ketimbang masuk anginnya. Parahnya sekarang kakak mirip seperti orang yang lagi MKKB alias masa kecil kurang bahagia. Dia tua, maksudnya tua dari pada saya, kok maen air macam nggak pernah nemu air seabad. Tapi wajar lah, kan udik belum pernah rasain banjir.
Pop mie habis. Saya kembali ke kamar sambil mengeluhkan sekaligus melaporkan kejadian ini ke komisi akun sosial facebook. “Rumahku banjir”, itu status saya malam ini. Komennya banyak mulai dari teman dekat saya yang saking dekat jadi teman hati, ternyata dia juga ngalami kejadian yang sama, kata dia sih rumahnya juga kebanjiran dan parahnya ada mata air keluar di dalam rumahnya. Waduh bahaya rumah dia yha. Tapi tenang pemirsa itu hanya kalimat hiperbola.
Saking banyak mengeluh ada temen tag-tag statusnya. Entah dari mana dia bisa vonis saya dapat juara satu di komunitas pemalas. Yang didalamnya ada 10 pemenang. Tiga terbesarnya di duduki saya, aini dan yaya. Karena tidak terima saya komentari “saya kategori pertama”. Datang Yaya yang tanpa dosa hanya komen “saya nggak termasuk”. Eh si Wilda pembuat status balas komen kita “windy@ paling terdeteksi namanya, yaya @ buta yha, ada namamu di situ”. Karena anarkis lempar-lemparan batu di facebook Yaya dengan tegas bilang “HAPUS!”. Cibir mencibir berujung pada komentar ngaco Aini“saya nggak termasuk dong”. Saya heran sebanyak ini kah lulusan SMA yang nggak tau baca. Saya langsung komen“ juara dua kamu aini, hampir kau kalahkan saya”. Karena saya juara satu termalas dari yang terajin mereka tidak terima, saya heran ini hanya status tapi orangnya membuas semua.  Panjang cerita akhirnya saya bilang aja kalau saya jadi pemecah rekor, setidaknya mereka puas. Tiba-tiba si Yaya komen dan bawa-bawa nama calon gubernur sulawesi selatan (mohon jangan tersinggung bapak calon gubernur). No 1. Windy vs Ilham. No 2. Ainy vs Yasin dan No.3 Yaya vs.... Mentang-mentang No. 3 nama dia makanya hanya di tulis bla bla blaa. Akhirnya wilda memperbaiki keadaan dengan komentarnya “Yaya vs GARUDA-NA” hehe :D gua ngakak deh ditengah kebanjiran ini.
Sekarang pindah masalah, chatting facebook bunyi. Temanku ngirim pesan. “Senior”.. padahal saya seumuran, tapi berhubung saya jadi kakak pembimbing dia di lembaga informasi mahasiswa yang berkumpul para wartawa kampus akhirnya saya di cap jadi senior. Pesannya saya replay dengan mengeluh “rumahku banjir”, dengan gaya bahasa khas sulawesi“kodong, kubawakanki mesin”. Saya binggung kok mau di bawakan mesin, singkat cerita dia mau nyedot aer di rumah, junior yang baik .. hehehe J pisss buat saburo.
Karena banyak curhatku sampai kemalaman belum tidur akhirnya saya putuskan untuk nyuci rumah. Masang selang dan nyemprot lantai rumah sampai bersih. Ternyata nyemprot rumah nggak asal nyemprot , selangnya ternyata terlipat-lipat, airnya ngambek dan nggak mau mengalir, mesin airnya bersin-bersin lagi, mungkin karena masuk angin. Yha karena stres rumah kotor saya pun stres mengumpat sepanjang pekerjaan. Coba aja kalau saya bisa memutar kembali masa-masa SD saya dulu. Ada teman saya Lina namanya. Setiap pulang sekolah waktu musim hujan yang jarak rumah kita sekitar 3 km dengan mengayun sepeda mini selalu membawa kita pada kelakuan ekstreme. Lina mengajariku melantunkan aji-aji/jimat atau mantra tepatnya seperti ini “matahari kalah, hujan menang” begitu sepanjang jalan. Katanya supaya matahari bangkit dari keterpurukan akan menang dan hujan kalah karena dia terlalu sombong dan besar kepala. Padahal selama perjalanan itu hujan tak kunjung berhenti, entah kenapa mantra itu terekam erat di memori. Dan sampai hari ini mantra itu masih aku gunakan. Sungguh konyol haha :D
Karena banyak mengumpat sama lantai yang kotor dengan kata-kata kotor. Hehehe J. (jangan sampai anda bayangkan saya akan melemparkan kata-kata tidak pantas yha).
Saya nemu terasi di dapu, dan berpikir, momen malam ini seperti terasi yang rasanya nyengat, mantap dan khas tapi sedikitn asin seperti keju. Tapi keduanya memang benar-benar punya cita rasa yang menarik. Banyak rasa tercipta malam ini di istana planet gehol, kediaman para anak-anak gaul. (Oh yah, fotonya-fotonya bisa dilihat di link ini http://windysaharesai.blogspot.com/ )
1 Januari 2013.

Kepompong Bergizi Mengemis Kasih



            Siang ini hujan turun deras sekali, menyapu debu berzig-zag diudara lepas. Selepas pulang sekolah Ira menatap kaca di ruang tamu yang berembun karena hujan deras dari semalam. Hari ini mama dan bapak Ira sedang keluar kota, Ira tinggal dan ditemai Eka pembantunya yang kebetulan sekarang sedang izin pulang menengok mamanya. Karena derasnya hujan, jalanan didepan rumah Ira nampak kabur dan ketika itu melintaslah motor yang tiba-tiba menyalakan lampu motornya ke arah pintu masuk rumah Ira. Ira terkejut ketika melihat motor berbelok masuk ke halaman, dengan rasa penasaran Ira lompat dari kursinya dan menuju pintu luar, mengamati perlahan-lahan kendaraan yang menghampirinya. “Oh, Dewi..dari mana kamu, kok hujan-hujanan sih?”. Dewi adalah kenalan Ira saat mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat provinsi. Awal pertemuan mereka berlanjut hingga akrab ngobrol via pesan singkat. “Iya nih, hujannya tidak berhenti dari semalam. Padahal aku harus pergi kerumah tanteku di kota”, Dewi menjelaskan sementara tubuhnya kedinginan. “Masuk dulu yuk, kamu kedinginan tuh, rumah tante kamu kan jauh, kenapa tidak pakai jas hujan?”. “Aku buru-buru Ra, soalnya mama sama bapak sudah dirumah tante, lagi ada acara keluarga, jadi aku harus nyusul sekarang karena tadi lagi ada Try Out untuk Ujian Nasional”. Berselang sepuluh menit dari percakapan singkat tiba-tiba kakak Dewi berhenti di depan gerbang rumah Ira. “Eh, Ra aku pamit dulu yah, aku Cuma mau nitip motorku, aku pergi sama kakakku yah, besok aku balik jadi sekalian aku mampir ngambil motorku yah”. “Iya Wi, hati-hati yah dijalan”.
Esok harinya langit tetap menampakkan kegelapannya, tidak ada sisi untuk cahaya matahari. Gerimis tetap turun menyambut hari yang baru. Ira bergegas mempersiapkan perlengkapan sekolahnya. Pagi ini Ira benar-benar sibuk mempersiapkan dirinya, karena pembantunya tidak menemaninya hari ini untuk membuatkan sarapan, semuanya Ira lakukan sendiri hari ini.“Teng-teng”, lonceng istirahat di sekolah berdering semu diantara gemuruh hujan dan seruan siswa yang langsung menyerbu kantin ibu Ika. Ira bersama teman-teman prianya Edi, Anang, Frans dan Jong langsung mengambil bola basket dan bermain ditengah rintikan hujan. Ira masuk tim basket laki-laki yang ada disekolahnya. Guru olahraganya yang memilihnya langsung. Disamping sifat manjanya, Ira punya sisi lain yang menonjolkan kejantanannya. “Eh Ra, motor siapa tadi yang ada di teras rumahmu?”, Edi iseng bertanya sembari mengisi obrolan mereka. “Oh, itu temanku yang aku kenal waktu olimpiade kemarin, dia nitip motornya karena ada acara keluarganya kemarin sore dan hujan deras, jadi dia titip motor di rumah”. Di tengah-tengah perbincangan mereka muncul sosok pria tinggi dengan postur badan yang ideal berjalan menghampiri mereka seraya memegang sapu lidi. Ira, Edi, Anang, Frans dan Jong tidak lagi bisa berkata apapun kecuali meninggalkan lapangan secepat mungkin sebelum guru olahraga mereka akan menyapu betis mereka satu per satu. “Gila bapak, kok kita di giring sadis gitu”, Ira memberikan argumennya ditengah napas ngos-ngosannya. “Untung lah kita tidak ketangkap kan, mending kita ke kantin deh, sudah sepi kantin dari monster-monster pembasmi makanan”, Frans mengajak rekan-rekannya beralih ke kantin. “Yang penting habis ini kita langsung masuk kelas sebelum bapak mengeksekusi kita”, Jong ikut menyumbangkan idenya. Sepulang sekolah Ira langsung membuang dirinya ke tempat tidur, tidur di tengah turunnya hujan jadi kenikmatan sendiri dari pada harus melamun menatap embun di kaca jendela. Sore menjelang, perut Ira berdendang meneriakkan lapar yang terus menerus menerjangnya dimusim dingin ini. Ira terkejut seketika melihat mama dan bapaknya yang langsung muncul dihadapannya seperti penampakan yang memutuskan kewarasan Ira. “Mama, bapak kok disini. Ngagetin Ira aja sih”.” Sorry sayang, mama dengar dari kak Eka katanya tidak bisa temani kamu, jadi mama sama bapak langsung pulang nengok kamu”.”Mama apaan sih, Ira kan sudah besar mama”.” Kita kan khawatir sayang”, bapak Ira meyakinkan perhatian mereka untuk putri tunggalnya yang kini jadi bintang sekolah, walaupun sering sulit mendengarkan teguran gurunya. “Mama sudah siapkan makan malam, kamu mandi yah sayang, nanti kita makan malam sama-sama”.”Iya mam, makasih yah mamaku sayang”.”Ra, motor siapa di depan sayang?”, bapak Ira memotong pembicaraan.”Oh, itu motor teman Ira pa, Dewi namanya. Ira kenal dia waktu olimpiade matematika, kemarin hujan dan dia lagi ada acara keluarganya”.”Oh, iya, bapak hanya tanya itu saja. Kamu mandi sana bau banget”.”Bapak ngada-ngada deh, akukan sering luluran pakai parfum”, Ira menutup pintu kamar sambil tertawa geli.
Dua hari terlewatkan dari pertemuan terakhir Ira dan Dewi. Sore ini nampak sunset berwarna orange terang, Dewi turun dari motor kakaknya dan berjalan ke arah rumah Ira, sementara Ira sedang bergurau bersama mama dan bapaknya di taman. “Hei Wi, baru pulang yah, mana oleh-olehnya nih”, Ira bergurau sementara Dewi hanya tersenyum pada mama dan bapak Ira. “Hai om, tante apa kabarnya?”.”Oh alhamdulillah baik nak”, jawab mama Ira dengan senyum manisnya. Dewi bersalaman dengan Ira dan orang tuanya sambil memohon pamit untuk pulang. “Dewi itu cantik yah Ra!”. “Iya mam, dia juga pinter loh ma”. “Terus anak bapak dikalah pintarnya yah dari Dewi?”. “Ih, yah tidak dong pa, aku kan yang juara kemarin, jadi jelas dong Ira yang lebih”, Ira tertawa meyakinkan bapaknya.”Bapak ingatkan jangan pernah sombong ya nak”.”Iya bapak, Ira tau itu”. Bulan berganti dan musim hujan tetap bergulir melumuti tanah di sepanjang jalan masuk sekolah. Pagi ini terulang kembali, Ira harus menyambut hari yang baru bersama kak Eka tanpa mama dan bapak, orang tuanya mendapat tugas keluar kota. “Ira, bangun dek. Kamu kan harus sekolah, nanti mama marah kalau dengar kamu telat ke sekolahnya”, pembantu Ira seperti alarm yang diatur berulang-ulang untuk membangunkan Ira. Akhirnya jam 9 Ira berangkat ke sekolah yang hanya berada tepat di depan rumah Ira, dan seperti biasanya pembina osis memantau Ira yang selalu tidak tepat waktu. Ketika terkejut Ira mengambil keputusan melompati pagar dan bermain kucing-kucingan dengan gurunya. Setelah lolos Ira mengetuk pintu kelas dan meminta izin guru untu masuk. Beruntung pagi ini mata pelajaran matematika dan guru Ira tak bertanya apapun kecuali berpikir Ira habis dari kantor untuk persiapan lomba biologi tingkat provinsinya. “Ra”, Edi berbisik di tengah-tengah menit terakhir guru matematikanya keluar. “Ya, kenapa?”.”Kamu tahu kabar tentang Dewi?”.”Emang kenapa, dia belum menghubungiku akhir-akhir ini”.”Ada yang mau aku ceritakan ke kamu”.”Iya, nanti pulang sekolah yah”.”Ok”. Bel pulang sekolah berbunyi dan Ira tak ingat janjinya dengan Edi tadi pagi. Ira mengikuti bimbingan dan Edi ikut pelajaran di kelas. Akhirnya mereka harus bertemu esok harinya.
            “Tinung..tinung..tinung..nung nung..”, handphone Ira berdering. “Halo Nunu, apa kabar?”.”Iya baik ni, kamu baru pulang sekolah yah?”.”Iya nih, kamu sedang apa sekarang?”.”Lagi baring nih, ada yang mau aku ceritakan ke kamu, kamu ke rumah yah?”.”Iya, tunggu aku yah”. Nunu adalah teman Ira dan Dewi, Ira mengenali Nunu karena bapak mereka rekan kerja sedangkan Dewi dan Nunu satu sekolah.
            Mobil Ira parkir dihalaman rumah Nunu. Nunu lagsung mempersilahkan Ira masuk ke kamarnya. “Ra, minggu lalu Dewi ke rumahmu yah?”.”Iya, dia nitip motor karena ada acara keluarganya”.”Astaga Ra, kamu tidak tahu yah?”.”Soal apa?”.”Dewi itu akhir-akhir ini tidak pernah masuk sekolah dan mamanya bertanya ke aku dan teman-teman di mana Dewi, kata mamanya Dewi nginap di rumah Eni, tapi Eni bilang tidak pernah sekalipun Dewi nginap di rumah”.”Terus apa hubungannya dengan aku?”.”Waktu dia ke rumahmu sebenarnya dia melarikan diri sama pacarnya, dia suka pakai nama teman-teman untuk ambil kesempatan, sekarang dia tidak ada di mana-mana, semua guru dan teman-temanku sibuk cari dia, padahal sudah mau Ujian Nasional kan!”.”Hah, jadi sekarang dia dimana dong?”.”Itu yang mau aku tanyakan ke kamu, mama Dewi sekarang sering sakit dan suka nangis nyari Dewi”.”Kalau gitu aku yang hubungi dia dan suruh dia pulang, keterlaluan sekali sih”.”Ra, kamu nggak boleh tunjukin kalau kamu tahu kita sedang nyari dia. Kemarin aku hubungi dia dan tidak ada respon apapun setelah aku tanya soal dia dimana”.”Jadi aku harus pura-pura bagaimana?”. Setelah percakapan yang panjang, akhirnya Ira pun juga menyadari perjanjiannya dengan Edi untuk pembicarakan persoalan Dewi, yang ternyata pembahasannya masalah pelarian Dewi yang menyangkutkan diri Ira, akhirnya Ira pamit pulang.
            “Halo, Wi, apa kabar?”.”Oh baik ni. Kamu lagi ngapain?”.”Lagi nonton sih, kalau kamu lagi apa?”.”Aku lagi belajar ni di rumah, Ra”.”Oh iya Wi aku bisa tidak minta tolong, besokkan aku mau olimpiade tingkat provinsi, minta tolong belikan aku makanan ringan dong, soalnya mama bapak tidak disini dan aku tidak mungkin harus membeli semua itu kan”.”Bisa, dimana kita bisa ketemu Ra”.”Kamu bisa nggak bawain di bandara, soalnya aku nggak dirumah sekarang”.”Ok, tentulah sayang”.”Iya, makasih yah Wi”.
            Keesokan harinya Ira dan Dewi ketemu di bandara. Sambil menyodorkan makanan ringannya Dewi dan pacarnya langsung ditangkap teman-teman Dewi dan gurunya. Ira tidak bisa berkata apapun kecuali bertanya-tanya kenapa dan apa yang terjadi pada Dewi. Tetapi waktu telah menuntut Ira untuk melagkahkan kakinya ke dalam pesawat.
            Setelah sepuluh hari berlalu akhirnya Ira kembali, Nunu pun menyempatkan menjemput Ira.”Nuk, bagaimana kabar Dewi sekarang, kok dia tidak pernah hubungi aku selama aku ngikuti lomba, biasanya dia ngasih doa dan dukungan ke aku, apa dia marah sama aku yah?”.”Astaga Ra, ada yang aku lupa tentang Dewi”.”Apa?”.Akhirnya Nunu menceritakan semua kejadian tentang Dewi ke Ira selama perjalanan pulang. “Dewi itu adalah anak perempuan satu-satunya dari dua bersaudara, tapi dia dan saudaranya tidak pernah diperhatikan orang tuanya, orang tuanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Mamanya seorang dokter spesialis yang terkenal dan Bapaknya seorang pengusaha tambang terkenal. Sepertinya Dewi tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya, dia tidak pernah mempertimbangkan apapun sebelum mengambil keputusan, dia hanya mengandalkan semua materinya untuk membahagiakan dirinya, sehingga apapun yang dia inginkan selalu terpenuhi. Jangankan itu, Dewi pun berani mengancam orang tuanya dengan tindakan nekat kalau permintaannya tidak terpenuhi. Orang tuanya juga tak bisa berkata apapun selain mengiyakan permintaan Dewi. Waktu itu Dewi hamil diluar nikah dan dia harus pindah sekolah karena orang tuanya malu, tetapi yang aku dengar Dewi bunuh diri kemarin dari lantai 3 rumahnya, dengar-dengar karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab”. Ira ternganga mendengar penjelasan Nunu.”Kok kamu nggak bilang sih Nuk?”.”Aku takut ganggu konsentrasi kamu Ra, makanya aku nggak berani bilang ke kamu”.
            Sore ini Ira dan Nunu berkunjung ke rumah Dewi, melihat keadaan keluarga Dewi. Ira dan Nunu menyempatkan berziara ke makam Dewi, walaupun mama Dewi tampak terpuruk sekali harus kehilangan anak perempuannya. Mama Dewi sekarang lebih sering melamun dan menghabiskan waktunya di rumah dibandingkan sebelum kejadian ini. Terasa banyak waktu yang bisa di manfaatkan bersama keluarga yang dengan begitu saja terlewatkan.